
Luangkan waktu sepuluh hingga lima belas menit di penghujung pelajaran untuk mendiskusikan perasaan calon penerjemah dan penerjemah pengajar (penerjemah tersumpah) tentang dua pengalaman menerjemah yang berlainan itu. Mintalah mereka merenungkan apakah kedua “situasi” itu memang “realistis”-dan walaupun mereka tidak pernah benar-benar diharuskan menerjemah dengan cara ini atau cara itu, apakah mungkin mereka menempatkan diri pada salah satu dari kedua keadaan mental yang sudah mereka alami dari latihan tadi: bekerja dengan terlalu banyak rasa cemas, atau dengan berbagi pengalaman menerjemah yang sulit dengan rekan sekerja atau teman.
Latihan ini bisa pula dikerjakan seluruhnya dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam hal ini, calon penerjemah sendiri diharapkan akan “mengakibatkan” kelelahan simbolis satu sama lain, setiap calon penerjemah mendesak calon penerjemah lainnya agar mengingat dan merasakan kelelahan itu sebanyak mungkin, mengancam dengan hal-hal keji jika gagal, lalu memusatkan perasaan-perasaan putus asa itu pada teks, seakan-akan mereka diwajibkan menerjemahkan teks itu pada saat kelas usai. Sekali lagi, luangkan waktu pada akhir pelajaran, setelah selesai mengerjakan terjemahan, setelah ada waktu longgar, untuk mendiskusikan pengalaman tersebut dengan seluruh peserta pelatihan.
Bisa juga calon penerjemah diminta menggali pengalaman mereka lewat cara lain: dengan membuatkan gambar atau diagramnya, memerankannya dalam kelompok kelompok kecil, menceritakannya, dan lain-lain.
Kita tidak tahu cukup banyak tentang penerjemah. Siapakah mereka? Seperti apa masa kecil mereka? Apa yang membuat mereka tertarik pada bahasa? Apakah mereka lebih senang belajar bahasa dari buku, di kelas, lewat pergaulan, atau di negara “asli” bahasa itu? Di mana mereka bekerja? Bagaimana mereka bekerja? Dan seterusnya.
Postingan-postingan dalam blog ini membuat banyak generalisasi tentang penerjemah dan bagaimana orang bisa menjadi penerjemah. Karena sedikit sekali penelitian sosiologis yang pernah dilakukan tentang penerjemah dan populasi penerjemah, generalisasi-generalisasi ini sangatlah problematis: dibuat berdasarkan pengalaman penulis sendiri dan cerita-cerita yang dituturkan teman, rekan, dan calon penerjemah, atau pesan-pesan kiriman di Lantra-L. Apakah penerjemah benar-benar seperti begini atau begitu? Benarkah begini caranya orang bisa menjadi penerjemah?
Selain latihan dengan waktu yang serba terbatas, cobalah Anda menerjemahkan dokumen 1 halaman setiap hari, atau 2 halaman atau bahkan 20 halaman perhari tanpa ada upah dari siapapun. Hal dilakukan semata mata untuk membangun rutinitas alam bawah sadar Anda menuju penerjemah profesional.